PERAN AGAMA DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA LOKAL
A.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Agama Islam di Indonesia
disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang
membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang
geografis dan budaya yang sudah ada dari zaman nenek moyang. Selain itu Islam
yang datang ke suatu wilayah atau tempat juga memiliki strategi dan kesiapan
tersendiri untuk menyebarkan agama Islam antara lain:
Pertama, Islam datang dengan
mempertimbangkan tradisi, tradisi berseberangan apapun tidak dilawan tetapi
mencoba diapresiai kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam.
Kedua, Islam datang tidak
mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan
mereka.
Ketiga, Islam datang
mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam diterima sebagai tradisi
dan diterima sebagai agama.
Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga
orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana cara Agama Islam
masuk ke Indonesia ?
2. Apa hubungan Agama
Islam dengan budaya lokal yang ada di Indonesia ?
3. Apa peran agama
menghadapi perubahan nilai ?
4. Apa fungsi agama
terhadap perkembangan dan perubahan budaya ?
1.3 TUJUAN
Tujuan
dari pembahasan kali ini adalah untuk lebih memahami dan mengerti apa hubungan
agama dengan budaya lokal di Indonesia, serta peran agama di dalam budaya
tersebut.
B.
PEMBAHASAN
A. Kapan Agama Islam masuk ke Indonesia ?
Islam masuk ke Indonesia dengan
penuh kedamaian dan diterima dengan tangan terbuka, tanpa prasangka sedikitpun.
Bersama agama Hindu dan Budha, Islam memperkenalkan civic culture atau
budaya bernegara kepada masyarakat di negeri ini. Para wali menyebarkan dan
memperkenalkan Islam melalui pendekatan budaya, bukan dengan Al Quran di tangan
kiri dan pedang di tangan kanan. Melalui alunan gamelan di depan masjid Demak,
Sunan Kalijaga mengajar masyarakat kalimah syahadat. Seusai membaca syahadat,
para mualaf dipersilahkan memasuki halaman masjid dan menikmati indahnya alunan
gamelan. Di Madura, Pangeran Katandur memberi benih jagung dan mengajar
masyarakat bertani sambil dilatih membaca kalimah syahadat. Dan ketika panen
jagung tiba, masyarakat dibiarkannya merayakan panen dengan lomba lari sapi
yang sekarang dikenal dengan karapan sapi.
Para wali di Jawa demikian juga
berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, sehingga mereka perlu
mempelajari Kekawian (sastra klasik) yang ada serta berbagai seni pertunjukan,
dan dari situ lahir berbagai serat atau kitab. Wayang yang merupakan bagian
ritual dan seremonial Agama Hindu yang politeis bisa diubah menjadi sarana
dakwah dan pengenalan ajaran monoteis (tauhid). Ini sebuah kreativitas yang
tiada tara, sehingga seluruh lapisan masyarakat dari petani, pedagang hingga
bangsawan diislamkan melaui jalur ini. Mereka merasa aman dengan hadirnya
Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.
B. Apa hubungan Agama Islam dengan budaya lokal ?
Agama Islam membiarkan kearifan kebudayaan lokal yang produktif
dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan
yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara
pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin
untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat
wajar, dan, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama,
gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif.
Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat
berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif
dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran
di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam?
Disamping Ramadhan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu.
Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang
bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin
mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah
menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun
Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal
omba’, asapo’ iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa
bertakwa.
Islam
tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan
budaya akar rumput, yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu
terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat
Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas
budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya
Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam
menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini
tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman
dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk
masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita
kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab.
Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan
menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna
Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta,
Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat.
Dalam
benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk
bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas
nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan
karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki
fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat
yang beradab dan berperikemanusiaan.
C. Bagaimana peran Agama menghadapi perubahan nilai ?
Di Era informasi dan globalisasi
sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah berdampak
hampir ke semua aspek kehidupan masyarakat. Perubahan masyarakat akibat
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar
pada budaya, nilai, dan agama. Nilai-nilai yang sementara ini dipegang kuat
oleh masyarakat mulai bergeser dan ditinggalkan. Sementara nilai-nilai yang
menggantikannya tidak selalu sejalan dengan landasan kepercayaan atau keyakinan
masyarakat, sehingga penyimpangan nilai kian subur dan berkembang.
Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang berkepribadian.
Laporan hasil polling Indonesia Foundation menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan mengatakan, aborsi di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.
Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.
Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umumnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.
Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternative (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.
Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Illahiah yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.
Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic, genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.
Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang sholat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, remaja dan mahasiswa yang sedang berada dalam kondisi psikologis yang labil menjadi korban pertama sebagaimana terjadi dalam berbagai kasus hedonisme, konsumerisme, hingga peningkatan kenakalan remaja dan narkotika. Hal ini semakin membuktikan bahwa nilai-nilai hidup tengah bergeser sehingga membingungkan para remaja, menjauhkan mereka dari sikap manusia yang berkepribadian.
Laporan hasil polling Indonesia Foundation menyebutkan, sedikitnya 38.288 orang remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah melakukan seks pranikah. Jika jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762 orang, mereka yang telah melakukan pelanggaran seksual sebesar 50,56%. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. sebagaimana dilaporkan mengatakan, aborsi di Indonesia terjadi 2-2,6 juta kasus per tahun dan dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun. Selanjutnya ia menyarankan bahwa upaya preventif yang paling mendasar untuk mencegah aborsi oleh remaja dapat dilakukan melalui pengajaran norma-norma, budi pekerti, agama, dan moralitas yang bertanggung jawab dalam perilaku seksual.
Laporan tersebut menunjukkan, bahwa remaja kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa sedang mengalami proses kegalauan nilai yang parah di mana pendidikan sebagai pembinaan nilai dan moral dituntut untuk dapat menanggulangi dan mengantisipasinya sehingga masa depan bangsa dapat diselamatkan. Berbagai fenomena pelanggaran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa membuat khawatir sebagian besar masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Pendidikan moral yang selama ini menjadi garapan pendidikan dalam keluarga mulai dirasakan hampa makna, mengingat orang tua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Sementara sekolah dan perguruan tinggi, padat dengan pencapaian tujuan kurikulum yang menonjolkan aspek kognitif. Output pendidikan lebih banyak menghasilkan pengetahuan, tetapi tidak mampu menghadapi tantangan hidup dan kehidupan (survive). Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.
Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umumnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak dicerap dengan baik. Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma.
Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternative (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.
Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipandang sebagai sumber nilai karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Illahiah yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.
Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf serta lawan kebaikan yang diungkapkan dalam istilah albathil, dan almunkar. Haq atau alhaq menurut pengertian bahasa adalah truth; reality; rightness, correctness; certainty, certitude dan real, true; authentic, genuine; right, correct, just, fair; sound, valid.
Alhaq diulang dalam Alquran sebanyak 109 kali. Alhaq mengandung arti kebenaran yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang sholat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat.
D. Apa fungsi Agama terhadap perkembangan dan perubahan
budaya ?
Dalam konteks sosial, hubungan
fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang
rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut
sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan
masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi pencegah terjadinya kesalah pahaman dalam bermasyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidak adilan.
Memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi pencegah terjadinya kesalah pahaman dalam bermasyarakat. Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan. agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidak adilan.
Memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
C.
PENUTUPAN
2.1
Kesimpulan
Kesimpulanya adalah Al – Qur’an tetap
menjadi pedoman hidup yang sudah terbukti dengan semua kebenaranya dan agama
sebagai pegangan hidup seseorang, kemudian kebudayaan lokal disini diartikan
sebagai penengah atau penyatu dari berbagai agama yg ada diIndonesia.
diIndonesia kebudayaann lokal tetap dijaga hanya saja beberapa telah menghilang
seiring pergantian zaman, tidak luput peran dari teknologi yang semakin canggih
sehingga seseorang melupakan kebudayaan karena kurang kepedulian terhadap
lingkungan. nah disini tugas mahasiswa sebagai pelajar tertinggi untuk terus menjaga
kebudayaan agar tetap tergaja sebagaimana mestinya. jika kita sudah egois
kemungkinan besar kebudayaan kita akan menghilang satu persatu.
2.2 Refrensi 01 april 2014
2.3 www.uin-alauddin.ac.id/download-06%20KAJIAN%20KRITIS.pdf
mambaulhikaminduk.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar